Rabu, 03 November 2010

Sejarah Kota ukir


SEJARAH JEPARA
Seperti dengan tepat dikemukakan oleh C. Lekkerkerker dalam karangannya“ Javaansche geographische namen als splegels van de omgeving on de denkwiizen van het volk “ ( 1931 ), nama Jepara berasal dari perkataan Ujungpara. Dari perkataan ini kemudian muncul perkataan Ujung Mara dan Jumpara, yang kemudian mengerut Jepara atau Japara.
Etimologis ini dikuatkan oleh adanya beberapa nama tempat dikawasan pesisir Jepara yang menggunakan perkataan “ ujung “.
Nama-nama ini dengan jelas terjumpai pada peta daerah Jepara dalam buku Domine Francois Valentijn yang termasyhur “Beschrvving Van Groot Djava, Ofte Java Major “ jilid IV yang diterbitkan pada tahun 1726. Pada peta ini kita dapat melihat tempat-tempat bernama Ujung sawat, Ujung Gat, ujung kalirang, Ujung jati, Ujung Lamalang dan Ujung Blindang.
Seperti halnya dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Jawa perkataan“ujung” dapat berarti penjuru tanah atau daerah yang memanjang. Sedangkan perkataan “para” dalam bahasa Jawa merupakan sebuah perkataan yang berwajah arti, diantaranya merupakan kependekan dari perkataan “pepara” yang berarti “bebakulan mrana-mrana”, artinya pergi berdagang kesana kemari. Dengan demikian perkataan Jepara dapat berarti sebuah ujung tempat pemukiman para pedagang  yang berniaga ke berbagai daerah, dalam hal ini ada kemungkinan ke berbagai daerah pedalaman di kawasan kabupaten Jepara dan daerah sekitarnya.

PENYEBUTAN NAMA-NAMA JEPARA DALAM SUMBER-SUMBER SEJARAH
Sangat menarik perhatian, dalam sumber-sumber sejarah Tiongkok mengenai Indonesia dari abad ke-VI sampai abad ke-XV yang telah dihimpun oleh W.P. Groneveldt dan diterbitkan pada tahun 1880 dengan judul “ Historical notes on Indonesia and Malaysia complied from Chinese Sourses”, tidak kita jumpai penyebutan nama kota Jepara. Dari kenyataan ini dapat ditarik kesimpulan, pada abad ke – XV kota Jepara belum lahir atau setidaknya belum merupakan sebuah kota yang berarti.
Kesimpulan ini cocok dengan keterangan Tome Pires dalam buku laporan perjalanannya yang terkenal “Suma Oriental”. Orang Portugis ini selama beberapa bulan antara bulan Maret sampai bulan Juni 1513 telah mengunjungi pantai utara pulau Jawa mulai dari Cirebon sampai Gresik, yang diakhirinya dengan memborong rempah-rempah. Perjalanan dilakukan pada bulan Januari 1515 ia berada di Malaka. Dan pada bulan Januari 1515 membuat hasil karya yang disebut “Suma Oriental”. Tidak lam kemudian ia kembali lagi ke Goa dan selanjutnya pulang kembali ke tanah airnya. Disnilah ia menyelesaikan naskah “Suma Oriental”  nya yang membuat terkenal namanya di kalangan masyarakat sejarawan.
Keterangan Tome Pires merupakan sumber sejarah tertulis tertua mengenai Jepara. Ia menyebut nama kepala negeri Jepara Pati Unus. Ayahnya seorang pedagang di Malaka yang berhasil Berjaya dalam perdagangannnya dengan pulau Jawa. Ayah Pati Unus ini kemudian menetap di Jepara. Sekitar tahun 1470 ia menyuruh membunuh patih Jepara. Lalu ia pun menjadi baru di Jepara. Menurut keterangan Tome Pires, pada waktu itu kota Jepara hanya mempunyai penduduk antara 90 sampai 100 orang. Betapapun, keterangan ini benar-benar sangat menarik perhatian. Dengan demikian, kita dapat mengatakan, pada paro kedua abad ke – XV kota Jepara masih merupakan sebagai kota yang belum berarti.http://jeparainfo.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif Sekalipun demikian, karena lokasinya yang strategis, kota Jepara yang kecil ini nampaknya telah cukup dikenal orang.  Dari tempat ini para pedagang dapat berniaga lebih jauh lagi ke berbagai tempat di daerah pedalaman. Oleh karena itulah tempat ini kemudian disebut Ujung Para atau Ujung Mara, yang kemudian  mengalami “verbastering” menjadi Jepara. Disamping itu, kita juga dapat memaklumi, jika Sunan Ngampel, waktu pertama kali dating ke pulau Jawa lebih dahulu menjejakkan kakinya di Jepara. Peristiwa ini dituturkan dalam serat “Kandha edisi Brandes”.
Nama Jepara tampil kembali dalam “Hikayat Hasanuddin”, sebuah naskah sejarah berasal dari Banten. Diceritakan, setelah Pangeran Ampel Dentawafat, putra putrinya telah pindah bersama keluarganya. Nyai Gede Pancuran pindah ke Jepara bersama suaminya. Keduanya bertempat tinggal di Kerang Kemuning. Seorang putrid pangeran Ampel Denta yang lain, Nyai Pengguluh, pindah ke Tuban. Nyai Gede Malaka pindah ke Maloko. Setelah Nyai Gede Malaka meninggal, suaminya pindah ke Tuban. Pangeran Bonang pergi ke Surabaya, menjadi imam di tempat itu. Tidak lama kemudian Pangeran Bonag pindah ke Jepara bersama kakaknya, Nyai Gede Pancuran. Pangeran Kadarajat pindah ke Cirebon, sedangkan saudaranya,Kyai Gede Palembang, berguru ke Syeh Nurullah. Sealnjutnya dituturkan, tidak lama setelah menjadi imam di Demak,Makhdum Bonang – yang dimaksud tentu saja Pangeran Bonang alias Sunan Bonang – pindah ke Jepara, berumah di Karang Kemuning. Tidak lama diantaranya rumah terbakar, kitab-kitab juga ikut terbakar. Kejadian itu membuat orang geger. Kali Jaga, Lebai Yusup, Lebai Hamzah dan semua muridnya berdatangan, mau memberikan pertolongan. Namun, Sunan Bonang tidak mau. Tak lama kemudian Makhdum Bonang pindah ke Bonang, kemudian pinddah lagi ke Tuban. Beberapa waktu kemudian wafat, dimakamkan disebelah barat masjid Tuban.
Kisah naskah sejarah “Hikayat Hasanuddin” ini sangat penting artinya bagi penelitian kita untuk mengetahui usia kota Jepara. Diceritakan, Suanan Bonang telah pindah dari Surabaya ke Jepara setelah Sunan Ngampel wafat. Menurut naskah sejarah “Serat Babad Gresik” koleksi museum Sono Budoyo di Yogyakarta, Sunan Ngampel wafat pada tahun  1397 Jawa yang jatu bertepatan dengan 1475 Masehi. Ditandai dengan candra sengkala“Pandhita Ngampel Lena Masjid”. Titi mangsa ini tidak jauh berbeda dengan keterangan Wisellus dalam artikelnya “Historich onderzoek naar de geestelijke en weredlijke suprematis van Grisses op Midden – en Oost – Java Gedurende de 16e en 17e eeuw” (1876), yang berdasarkan sebuah naskah dengan judul yang sama – “Babad Gresik” menuturkan, Sunan Ngampel telah meninggal pada tahun 1481 Masehi, ditandai dengan candra sengkala “Ngulama Ngampel Lena Masjid”. Kedua titi mangsa ini sangat menarik perhatian kita.Menurut Tome Pires, sekitar tahun 1470 kota Jepara telah berada di bwah pemerintahan seorang penguasa muslim, yakni ayah Pati Unus. Tokoh ini berhasil menarik banyak orang dan membuat negerinya menjadi besar. Dari keterangan ini tidak berlebihan jika kiranya kita menduga, kehadiran Sunan Bonang di Jepara bukan mustahil karena undangan ayah Pati Unus.
Demikian juga halnya dengan keberadaan Pangeran Ibrahim di Karang Kemuning, Jepara, “pandita dari atas angin” dan ipar Sunan Bonang, yang di kalangan masyarakat Jepara sangat terkenal karena kesolehannya. Kehadiran mereka berdua memang sangat diperlukan untuk menyiarkan agama Islam di Jepara. Bahkan, bukannya tidak beralasaan jika kita menduga, karena kehadiran mereka cukup banyak kaum muslimin dai luar daerah dating ke Jepara untuk belajar berbagai macam ilmu agama. Penyebutan Kalijaga sebagai murid Sunan Bonang waktu waliullah ini berada di Jepara, menguatkan kesimpulan ini. Dengan demikian dapat kita kemukakan, kota Jepara baru muncul sebagai kota yang berarti pada akhir abad ke XV,  yakni pada masa pemerintahan ayah Pati Unus, baik sebagai pusat pemerintahan maupun penyiaran agama islam. Konklusi ini dikuatkan oleh hasil penelitian pecahan-pecahan keramik yang pernah dilakukan oleh Van Orsov De Flines pada tahun 1940 -1942 di listrik ( sekarang : kawedanan) Jepara. Dari penelitian ini ternyata di kota Jepara hanya terjumpai fragmen-fragmen setengah porselin dari daerah Fukien asal abad ke – XVI dan dari “celadon” yang berasal dari satu sampai dua abad lebih tua. Sedangkan kea rah selatan yakni di kawasan “onderdistrict” (sekarang: Kecamatan) Kedung, hasil hasil ini tidak terjumpai sama sekali. Di kawan tersebut hanya di jumpai fragmen-fragmen dari abad ke-XVIII dan ke – XIX, itupun sangat jarang. Oleh karenanya, mengikuti pendapat Van Orsoy  De Flines, kita dapat menyatakan, kawasan ini merupakan sebuah tempat pemukiman yang masih sangat muda dan untuk pertama kalinya mulai didiami oleh sedikit generasi.

0 komentar: